Bom Bali, Marahkah Orang Bali?

Dua kali Bali diguncang teror Bom. Yang pertama bahkan termasuk paling parah, 200an korban nyawa melayang akibat perbuatan Amrozi bersama kawan-kawannya. Itu termasuk yang luka-luka baik parah maupun ringan juga yang menderita cacat akibat Bom Bali itu. Belum juga bila dihitung korban materi akibat ledakan bom. Dan yang paling terasa saat ini akibat Bom Bali itu adalah surutnya kondisi pariwisata pasca ledakan Bom Bali I yang diperparah lagi dengan Bom Bali II.

Bagaimanapun upaya pemerintah dan juga masyarakat Bali untuk mengembalikan kondisi ekonomi dan pariwisata seperti sebelum terjadinya peristiwa tragis itu, namun tetap saja susah untuk mendatangkan wisatawan sebanyak dulu. Jangankan turis, masyarakat Bali sendiri masih trauma dengan aksi teroris itu.

Nah, dari sekian kerugian akibat aksi terorisme oleh kawanan teroris Amrozi cs, ada hal yang mungkin luput dari pandangan mata kita, yaitu reaksi orang Bali yang notabene merupakan pihak yang paling banyak menderita kerugian, yang paling merasakan sakitnya akibat Bom itu serta masih terasa hingga saat ini.

Bagaimana reaksi orang Bali (Hindu) yang ada di Bali? Sebut saja peristiwa dilakukan oleh oknum yang mengatasnamakan umat Islam. Salut, mungkin itulah kata yang paling tepat untuk menggambarkan perasaan kita terhadap orang Bali. Masyarakat Bali seperti cuek saja, kalaupun ada yang marah itu hanya lewat kata-kata sambil duduk-duduk warung tanpa ada aksi untuk merusak kerukunan dengan umat Islam di Bali. Orang Bali mengerti bahwa itu adalah perbuatan oknum, bukan Islam.

Para pendatang asal Lamongan yang bekerja sebagai penjual bakso, mie ayam, dll pun tak pernah mendapat intimidasi atau teror balasan sama sekali, mereka masih dengan tenang hidup di Bali bersama orang Bali. Orang Bali hanya benci Amrozi dan komplotannya, bukan memusuhi Islam, bukan pula memusuhi Lamongan.

Orang Bali mungkin tidak kenal balas dendam ataupun perbuatan anarkis lainnya, mereka sudah sibuk dengan urusan adat keseharian dalam beragama dan bermasyarakat berdampingan dengan umat agama lain, Islam, Kristen, Buddha, dll. Tak ada waktu untuk memikirkan hal-hal seperti itu, apalagi memaksakan suatu ajaran kepada orang lain, cukup untuk diri sendiri saja. Semoga Bali tetap damai… Amrozi, enyahlah kau ke neraka…!!!

Di posting dalam mengenang 5 tahun peristiwa Bom Bali..

Karma Negara

Dibawah ini adalah tulisan yang saya dapat dari sini. Tulisan ini sempat saya baca di Harian Radar Bali, saya suka tulisan ini, kebetulan hari ini saya temukan link-nya.

Seorang pemikir kawakan, cendekiawan yang cukup terkenal, pernah menolak pandangan saya dalam sebuah seminar, hanya karena saya menggunakan “Hukum Karma” sebagai landasan untuk menjelaskan sesuatu.

“Itu adalah Hukum menurut Teologi Hindu dan Buddhis, tidak bersifat universal. Janganlah dikaitkan dengan perkara non Hindu dan non Buddhis!” demikian pendapat dia.

Para supporter bertepuk tangan…. Horre, hebat, luar biasa!

Kemudian, penjelasan yang saya berikan tenggelam dalam suara tepukan itu. Hari itu, Hukum Karma dinyatakan Hindu, Buddhis…..

Padahal, Yesus, Sang Masiha yang kucintai pernah berkata bahwa kita hanya memperoleh hasil dari apa yang kita tanam. Jangan mengharapkan buah manis jika biji asam yang kita tanam.

Begitu pula dalam firman Allah yang disampaikan lewat Baginda Rasul, Nabi Muhammad….. Bahwasanya, kelak setiap anggota badan kita akan dimintai pertanggungan-jawab.

“Karma” berarti “Perbuatan”.

Dan, Perbuatan itu tidak bisa diberi label Hindu, Buddhis, Muslim, Kristen, atau lain sebagainya. Perbuatan dapat dijelaskan sebagai perbuatan yang baik dan yang tidak baik. Perbuatan yang tepat dan tidak tepat. Perbuatan berakhlak dan tidak berakhlak. Perbuatan yang menyenangkan atau tidak menyenangkan. Perbuatan yang menyejukkan atau justru menggerahkan.

Kebaikan adalah kebaikan, dan kebatilan adalah kebatilan. Perbuatan tidak membutuhkan label agama. Tapi, tidak…. teman saya hari itu, tidak dapat menerima penjelasan saya. Tidak mau menerima. Bahkan, tidak mau mendengar…. Saya belum selesai bicara, dia sudah langsung memotong: “Sudahlah, penjelasan itu merupakan pembelaan yang bersumber pada kepercayaan Anda!”

Wow, hebat…..

Tapi, ya, betul juga sih…. Gita, Dhammapada, Qur’an, Injil – semuanya adalah bagian dari kepercayaan saya, keyakinan saya. Dengan “memisahkan” kepercayaannya dari kepercayaan saya, hari itu sesungguhnya ia bergabung dengan kelompok yang dalam firman Allah disebut kafir. Hati mereka tertutup. Mereka buta…..

Hukum Karma adalah Hukum Perbuatan, Hukum Tindakan. Dalam bahasa fisika, hukum ini disebut “Hukum Aksi Reaksi”. Setiap aksi sudah pasti menyebabkan reaksi yang setimpal. Inilah Hukum Sebab Akibat.

Dan, Hukum ini bersifat Universal. Berlaku sama bagi setiap orang, bahkan setiap makhluk hidup. Hukum ini tidak tergantung pada akidah agama tertentu. Ia tidak bersandar pada dogma maupun doktrin tertentu. Mau percaya atau tidak, hukum ini tetap berlaku bagi semua. Dan, berlaku sama.

Setiap orang, lelaki maupun perempuan mesti tunduk pada Hukum Universal ini. Hukum ini berlaku bagi individu, maupun bagi kelompok. Sehingga, mau tak-mau, kita pun mesti menerima akibat dari Karma Negara. Negara dimana kita tinggal, kita bermukim.

Saat ini, bila keadaan negeri kita masih terpuruk – maka keterpurukan itu pun hanyalah akibat dari perbuatan kita sendiri. Perbuatan kita secara kolektif. Inilah Karma Negara. Benih yang telah kita tanam dalam ketidaksadaran kita, dan telah kita biarkan tumbuh besar dalam ketidaktahuan pula – saat ini sedang berbuah!

Tsunami tidak mampu mempersatukan kita.

Gempa Bumi tidak mampu menggetarkan jiwa kita. Dan, banjir tidak mampu membersihkan sampah-sampah yang ada dalam pikiran kita. Hasilnya ada di depan mata:

Negara yang kaya raya, dengan sumber alam dan sumber daya manusia berlimpah telah menjadi negara jajahan baru. Aset-aset kita dikuasai oleh kekuatan-kekuatan asing. Sumber alam kita dijarah habis-habisan. Akibatnya, sumber daya manusia kita harus menggadaikan diri, harus menjual jiwa dan raganya di negeri orang.

Manusia Indonesia pun menjadi jongos di negerinya sendiri. Tanyalah kepada saudara-saudara kita yang masih bekerja di perbankan yang sahamnya telah diambil alih oleh perusahaan-perusahaan dari luar, “bagaimana kabarmu?”

Jangankan saham bank, gelombang di udara pun sudah dikuasai oleh perusahaan asing. Sehingga setiap sambungan telepon yang kita lakukan, setiap SMS yang kita kirim – hanya memperkaya perusahaan-perusahaan asing.

Maskapai Penerbangan Asing merajalela dan membanggakan diri sebagai perusahaan yang paling aman, paling murah pula. Sementara itu, Garuda kita melemah sayapnya. Sayapnya hanya dapat mengantar kita ke beberapa negara di Asia saja.

Bisnis ritel bertumbuh…. namun pertumbuhan itu pun dinikmati oleh hyper-market yang berasal dari luar. Bertanyalah kepada saudara-saudara kita yang menjadi rekanan mereka – dari penawaran harga hingga pembayaran, semuanya menjadi “perkara”.

Adalah telepon genggam dan otomotif yang menjadi “komoditas utama” – dan kedua komoditas itu hanya memperkaya produsen-produsen asing.

Inilah akibat nyata dari perbuatan kita yang tidak sadar, tanpa kesadaran. Selama bertahun-tahun kita membangun dengan dana dan ketrampilan dari luar. Kita membangun berdasarkan survey-report yang berasal dari luar pula. Pembangunan kita tergantung pada kekuatan-kekuatan di luar.

Kita tidak pernah mandiri, tidak pernag Berdikari – Berdiri di atas Kaki Sendiri. Punya industri, tapi bahan bakunya masih harus diimpor dari luar. Kita tidak mengembangkan industri-industri yang dapat menggunakan bahan baku dari dalam negeri.

Ketergantungan kita pada kekuatan di luar, telah berakibat pada kehancuran kita. Kehancuran industri dan kepunahan sumber alam. Sungguh ironis, bila dalam keadaan terpuruk ini pun masih ada ekonom dan pejabat negara yang sekedar melihat angka pertumbuhan. Angka itu tidak riil. Angka itu tergantung pada sekian banyak faktor di luar kendali kita.

Masih ingat dengan angka pertumbuhan dan pujian yang pernah diberikan kepada kita oleh Bank Dunia? Semuanya itu hanya beberapa bulan sebelum kita terjun bebas dari ketinggian imajiner, hanya beberapa bulan sebelum krisis ekonomi yang berkepanjangan hingga hari ini….

Pertanyaan berikutnya: Adakah krisis tersebut memang krisis buatan? Tidak riil pula. Dan, dibuat oleh segelintir anak cucu Adam yang memang menginginkan kejatuhan kita – supaya kita terpaksa menjual diri.

Ada konspirasi besar di balik apa yang terlihat oleh mata.

Sayangnya, beberapa saudara kita sendiri, secara sadar maupun tidak sadar, telah menjadi bagian dari konspirasi tersebut. Kebetulan, saudara-saudara itu berada pada posisi-posisi yang sangat menentukan. Maka, perbuatan mereka, Karma mereka mempengaruhi setiap anak bangsa, setiap warga negara, setiap putra dan putri Indonesia.

Konspirasi ini mesti diakhiri.

Dan yang dapat mengakhirinya kita pula. Hutang-Piutang Karma ini mesti diselesaikan, dan yang menyelesaikannya pun mesti kita.

Akhir kata: Bergegaslah untuk bersama-sama mulai menyelesaikan hutang-piutang tersebut. Aku sudah bangun, cangkul sudah kuangkat…. sekarang aku menunju ladang…. bergabunglah saudaraku……

* Nasionalis/Spiritualis Lintas Agama, Anand Krishna telah menulis lebih dari 105 buku (www.anandkrishna.org)